Secuil Tanda Tanya Kepada HIV +

7 12 2009

(Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pengidap HIV +)

Dalam rangka hari AIDS sedunia, beberapa TV lokal menayangkan talkshow dengan nara sumber pengidap HIV +. Salah satunya adalah gadis muda berambut lurus, berkacamata, kelahiran tahun 1984. Kebetulan saat itu saya sedang makan, jadi tidak ingat betul konteks pembicaraannya. Hanya ada beberapa statement yang tertangkap oleh otak saya, dan membuahkan dilema dalam pikiran saya. Berikut statement – statement tersebut:

1. AIDS bukanlah penyakit moral.

Saya bisa mengerti statement ini bila seseorang mengidap HIV + dari ibunya atau dari transfusi darah. Tetapi saat saya tahu bahwa gadis tersebut terinfeksi HIV akibat perilaku seks bebas dan kecanduan narkoba, saya jadi sedikit miris dengan statementnya tersebut. Sebagian besar penularan HIV justru dari perbuatan amoral tersebut. Mungkin akan lebih tepat jika dia bilang begini: “Pengidap HIV + tidak perlu lagi dihakimi secara moral, karena mereka tentu sudah sangat menyesali akibat dari perbuatannya tersebut.” Memang tidak semua penyakit AIDS bermula dari perbuatan amoral, tetapi bagi yang mengidapnya karena perbuatan amoral mestinya tidak perlu malu menyatakan penyesalannya.

2. Pengidap HIV + butuh perhatian dan kepedulian.

Memang benar, menanggung beban sebagai pengidap HIV + tentu membutuhkan support yg luar biasa besarnya. Kembali lagi kepada gadis muda ini dengan latar belakang perilaku seks bebas dan pecandu narkoba. Saya jadi bertanya – tanya, waktu itu tidak adakah seorang pun yang mengingatkan dirinya betapa berbahayanya perilaku tersebut? Waktu itu, bukankah dia tidak peduli pada dirinya sendiri dan bahwa dia dengan sadar telah membahayakan dirinya sendiri dengan perilaku tersebut?
Itu hanya pertanyaan kontemplatif saja, mengingat dia menuntut orang lain untuk peduli. Tapi saya salut kalau dia berani jadi ‘bad example’ untuk mengingatkan anak – anak muda yang belum terinfeksi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

3. Pengidap HIV + masih bisa bekerja seperti orang normal, jangan ada diskriminasi.

Saya langsung membayangkan diri saya sebagai kepala HRD sebuah perusahaan. Lalu saya mempekerjakan seorang HIV+. Lalu suasana kantor jadi tidak kondusif. Pekerja yang lain menjadi resah oleh kehadiran pekerja HIV + tersebut. Lalu apa yang harus saya lakukan? Untuk membuat orang lain menerima pekerja HIV + tersebut seperti saya menerimanya, tentu bukan perkara yang mudah, belum lagi kalo sampai berujung mogok kerja. Saya lalu berpikir bahwa masalah diskriminasi ini jadi tidak sesederhana yang saya bayangkan.

Secuil tanda tanya ini muncul, menjadi PR buat saya, untuk lebih memahami posisi pengidap HIV + dalam masyarakat.

‘mmyb’