(Mengkritisi sistem katekisasi di salah satu gereja Katolik di Jakarta Selatan)
Peserta katekisasi kali ini benar-benar beragam. Ada yang agama asalnya Islam, Budha, Kong Hu Cu dan Kristen. Tiga yang pertama bak ember kosong, aku bisa mengisinya dengan leluasa. Tapi yang terakhir ini….seperti ember penuh, aku harus mengosongkannya dulu untuk bisa mengisinya dengan keyakinanku. Untuk itu aku harus kerja ekstra keras. Sepertinya dia tipe orang yang suka mempertanyakan segala sesuatu, dosa asal atas ketidaktaatan yang bermula dari si keparat Luther.
Pernah suatu kali aku dipermalukannya, waktu aku menceritakan saat Abraham menang bergulat dengan malaikat Tuhan. Dengan seenaknya dia memotong,
“Bagian mana dari Alkitab yang menceritakan itu? Bukan Abraham, tapi Yakub yang menang bergulat dengan malaikat Tuhan dan berganti nama menjadi Israel.”
Mana aku ingat semua nama dalam Alkitab ! Abraham atau Yakub sama saja buatku. Aku lebih tahu cerita mitos santo dan santa ketimbang tokoh – tokoh Alkitab.
Pada suatu pertemuan aku membahas santo dan santa, sesuatu yang aku yakin tidak dia kuasai. Aku balas dia dengan pertanyaan,
“Di agamamu gak ada santo dan santa kan?”
Aku tersenyum, aku yakin dia tidak akan menjawab.
“Ada. Kalo santa memang tidak ada, tapi kami punya seorang santo.”
Aku terkejut dengan jawabannya.
“Santo siapa?”
“Santo..so, ya, Santoso nama pendeta di gereja saya dulu.”
Dan semua tertawa.
Oh, Bunda Maria berikan kesabaran padaku untuk menghadapi pemberontak yang satu ini. Ya, roh kudus bimbinglah mulutku ini. Lain kali aku akan hati – hati berkata.
Pernah aku bercerita tentang wujud – wujud roh kudus berupa api, burung merpati dan hembusan angin. Saat aku sedang bercerita tentang wujud roh kudus yang terakhir, yaitu saat Yesus mencurahkan roh kudus kepada murid – muridnya dengan cara menghembuskan angin, dengan kurang ajarnya dia berkomentar,
“Wah, pasti anginnya bau ikan goreng, Yesus kan suka makan ikan goreng, pasti mulutnya bau ikan goreng.”
Aku tahu aku salah, roh kudus memang tidak pernah dicurahkan Yesus dalam bentuk hembusan angin, tapi kenapa dia tidak taat pada ceritaku saja, detil kecil seperti ini tidak perlu diributkan atau dipertanyakan.
Pada suatu kali aku bertanya,
“Apa yang akan kalian lakukan untuk menunjukan iman kalian ?”
Muridku yang paling pintar menjawab,
“Ikut perayaan Ekaristi tiap minggu.”
Muridku yang paling taat menjawab,
“Membuat tanda salib jika berdoa.”
Tapi si pemberontak itu menjawab,
“Mengasihi sesama….”
Dasar reformis! Kenapa tidak kau jawab saja dengan salah satu tradisi suci yang sudah kuajarkan kepadamu. Kasihmu kepada sesama bukan cara yang atraktif dan efektif untuk menambah umat.
Aku memutuskan akan kembali mengajar di Bina Iman Anak saja. Setidaknya anak-anak lebih nurut dan lucu, dibanding jebolan – jebolan reformis, yang selalu ada setidaknya satu orang di setiap angkatan, hanya untuk mengawini salah satu dari umat gereja ini. Walaupun anak – anak sering rewel dan nakal, setidaknya mereka tidak akan mempermalukan aku atas keterbatasan pengetahuan Alkitabku.
Demi Kristus Tuhan dan Pengantara kami.
Terinspirasi oleh ‘Als Ik een Jezuiet Was’.
function fbs_click()
{
u=location.href;
t=document.title;
window.open(’http://www.facebook.com/sharer.php?u=’+encodeURIComponent(u)+’&t=’+encodeURIComponent(t),’sharer’,’toolbar=0,status=0,width=626,height=436′);return false;
}
Komentar