Diary Seorang Katekismus

15 11 2009

(Mengkritisi sistem katekisasi di salah satu gereja Katolik di Jakarta Selatan)

Peserta katekisasi kali ini benar-benar beragam. Ada yang agama asalnya Islam, Budha, Kong Hu Cu dan Kristen. Tiga yang pertama bak ember kosong, aku bisa mengisinya dengan leluasa. Tapi yang terakhir ini….seperti ember penuh, aku harus mengosongkannya dulu untuk bisa mengisinya dengan keyakinanku. Untuk itu aku harus kerja ekstra keras. Sepertinya dia tipe orang yang suka mempertanyakan segala sesuatu, dosa asal atas ketidaktaatan yang bermula dari si keparat Luther.

Pernah suatu kali aku dipermalukannya, waktu aku menceritakan saat Abraham menang bergulat dengan malaikat Tuhan. Dengan seenaknya dia memotong,

“Bagian mana dari Alkitab yang menceritakan itu? Bukan Abraham, tapi Yakub yang menang bergulat dengan malaikat Tuhan dan berganti nama menjadi Israel.”

Mana aku ingat semua nama dalam Alkitab ! Abraham atau Yakub sama saja buatku. Aku lebih tahu cerita mitos santo dan santa ketimbang tokoh – tokoh Alkitab.

Pada suatu pertemuan aku membahas santo dan santa, sesuatu yang aku yakin tidak dia kuasai. Aku balas dia dengan pertanyaan,
“Di agamamu gak ada santo dan santa kan?”

Aku tersenyum, aku yakin dia tidak akan menjawab.

“Ada. Kalo santa memang tidak ada, tapi kami punya seorang santo.”

Aku terkejut dengan jawabannya.

“Santo siapa?”

“Santo..so, ya, Santoso nama pendeta di gereja saya dulu.”

Dan semua tertawa.

Oh, Bunda Maria berikan kesabaran padaku untuk menghadapi pemberontak yang satu ini. Ya, roh kudus bimbinglah mulutku ini. Lain kali aku akan hati – hati berkata.

Pernah aku bercerita tentang wujud – wujud roh kudus berupa api, burung merpati dan hembusan angin. Saat aku sedang bercerita tentang wujud roh kudus yang terakhir, yaitu saat Yesus mencurahkan roh kudus kepada murid – muridnya dengan cara menghembuskan angin, dengan kurang ajarnya dia berkomentar,
“Wah, pasti anginnya bau ikan goreng, Yesus kan suka makan ikan goreng, pasti mulutnya bau ikan goreng.”

Aku tahu aku salah, roh kudus memang tidak pernah dicurahkan Yesus dalam bentuk hembusan angin, tapi kenapa dia tidak taat pada ceritaku saja, detil kecil seperti ini tidak perlu diributkan atau dipertanyakan.

Pada suatu kali aku bertanya,
“Apa yang akan kalian lakukan untuk menunjukan iman kalian ?”

Muridku yang paling pintar menjawab,
“Ikut perayaan Ekaristi tiap minggu.”

Muridku yang paling taat menjawab,
“Membuat tanda salib jika berdoa.”

Tapi si pemberontak itu menjawab,
“Mengasihi sesama….”

Dasar reformis! Kenapa tidak kau jawab saja dengan salah satu tradisi suci yang sudah kuajarkan kepadamu. Kasihmu kepada sesama bukan cara yang atraktif dan efektif untuk menambah umat.

Aku memutuskan akan kembali mengajar di Bina Iman Anak saja. Setidaknya anak-anak lebih nurut dan lucu, dibanding jebolan – jebolan reformis, yang selalu ada setidaknya satu orang di setiap angkatan, hanya untuk mengawini salah satu dari umat gereja ini. Walaupun anak – anak sering rewel dan nakal, setidaknya mereka tidak akan mempermalukan aku atas keterbatasan pengetahuan Alkitabku.

Demi Kristus Tuhan dan Pengantara kami.

Terinspirasi oleh ‘Als Ik een Jezuiet Was’.

function fbs_click()
{
u=location.href;
t=document.title;
window.open(’http://www.facebook.com/sharer.php?u=’+encodeURIComponent(u)+’&t=’+encodeURIComponent(t),’sharer’,’toolbar=0,status=0,width=626,height=436′);return false;
}





Sepetologi

26 06 2009

Tukang sepet adalah satu salah satu label yang dicapkan pada saya. Harus saya akui bahwa hobi saya adalah nyepet. Untuk yang belum kenal istilah itu, sepet adalah sindiran terselubung, bukan hanya sekedar menyindir, tetapi seni membungkus sebuah sindiran dengan elegan, mengajak lawan bicara merenungkan kembali tindakannya atau pemikirannya dan pada akhirnya tumbuh kesadaran dari dalam dirinya sendiri, bukan menjejalkan kesadaran ke dalam otaknya.

Filosofi Sepet

“Fly like a butterfly, sting like a bee.” (Moh. Ali)

Dibalik sayap kupu – kupu yang lembut dan rapuh, terdapat sengat yang berbisa. Inilah kekuatan sepet, kritik pedas dan tajam yang terbalut oleh manisnya kata – kata.

Memulai Sepetan

Hal pertama yang harus dilakukan adalah membuka pertahanan psikologis lawan bicara. Kesankanlah bahwa apa yang anda bicarakan bukan soal dia. Ketika dia merasa bahwa anda tidak sedang membicarakan dia, maka dia tidak akan membangun sikap defensif. Manfaatkan fakta bahwa kita lebih suka mengkritik orang lain daripada diri sendiri. Teknik yang sering saya pakai sebagai awalan adalah mengarang cerita anonimous, pura – pura curhat atau seolah – olah contoh kasus dari orang ketiga. Bisa juga mengawali dengan basa – basi, atau cerita yang tidak terstruktur, lompat sana – lompat sini, sehingga lawan bicara tidak dapat menangkap kesan bahwa dia yang akan menjadi fokus pembicaraan yang sebenarnya. Selain itu, teknik ini juga berguna untuk mengajak lawan bicara untuk melihat suatu hal dari perspektif orang lain, mencoba merasakan apa yang mungkin dirasakan oleh orang lain.

Memasukan Sindiran

Ketika pertahanan sudah terbuka, saatnya memasukan serangan ke jantung kesadaran. Masukan sindiran mengalir secara perlahan. Tentukan sendiri batas kemampuan lawan bicara dalam mengunyah sindiran anda, jangan beri lebih dari yang dia mampu terima. Namun ada kalanya kita kebablasan, saking asyiknya melempar sindiran, anda akan mengetahuinya ketika lawan bicara mulai bersikap defensif, berusaha mengubah topik, atau malah berusaha menyudahi pembicaraan. Ini menandakan dia sudah merasa tidak nyaman dengan apa yang sedang anda bicarakan.

Jeda dan Distraksi

Ketika sindiran sudah mulai intensif atau saat lawan bicara sudah mulai tidak nyaman, anda harus berhati – hati. Saatnya ada memberi jeda untuk mendistraksi dia dari sindiran anda. Masukan intermezo, bicarakan hal lain, sesuatu yang ringan. Atau tanyakan pendapat dia tentang hal – hal yang berkaitan dengan bahan pembicaraan. Hal ini berguna supaya seolah – olah anda tidak mendikte dia dan merasa bahwa pendapatnya masih dihargai. Begitu pembicaraan sudah kembali rileks dan pertahanannya mengendur kembali, anda dapat memasukan kembali sindiran anda. Supaya tidak ada kesan anda mengulang kembali pembicaraan yang lalu, gunakan awalan cerita yang berbeda. Sebelum kembali ke topik yang sama.

Hasil Akhir

Hasil akhir yang diharapkan dari sepetan adalah lawan bicara menjadi satu ide dengan kita. Timbul kesadaran dari dalam dirinya untuk mengiyakan pemikiran kita, tanpa merasa dipaksa. Namun prosentase kegagalan tetap ada. Anda juga harus berhitung siapa lawan bicara anda dan strategi timing yang harus anda jalankan. Selamat mencoba, hehehehe….

FACEBOOK Share